Rabu, 23 Juni 2010

paradoks wajib belajar 12 tahun..

Minggu-minggu ini adalah waktunya untuk mencari sekolahan. Tetangga saya kiri, kanan dan depan adalah guru sehingga informasi tentang dunia pendidikan sedikit tahu dengan mengikuti pembicaraan antar tetangga. Sistem penerimaan murid baru (PSB) ternyata sangat amburadul seperti wild world, saling terkam.
Mengerikan sekali persaingan untuk memasukkan anak ke sekolah tertentu. Bila sang anak berotak pas-pasan maka orang tua yang ambisius akan menggunakan segal jurus kotor untuk memasukkan anakknya ke sekolah tertentu. Mulai dengan membayar jutaan rupiah, menyogok sampai dengan gaya preman.

Untuk yang terakhir itu ada cerita di suatu sekolah yang setiap hari dipasang jurnal urutan posisi berdasarkan nilai dan daya tampung sekolah (untuk mendaftar SMA tanpa tes, hanya berdasarkan nilai UAN). Pada saat kritis hari-hari terakhir, orang tua yang posisi anaknya di batas bawah akan berusaha menghalangi pendaftar yang nilainya melebihi anaknya. Tidak segan mereka mencegat di pintu masuk dan bersikap kasar, persis preman.
PSB dari tahun ke tahun masih belum mengalami perubahan berarti. Bila ada yang melakukan jurnal secara online itu hanya sebatas media pengumuman belaka. Semula ditempel di papan sekarang dimasukkan web secara online. Saya sempat bertanya-tanya, bagaimana dengan program pemerintah Wajib Belajar 12 Tahun?
Kalau program wajib belajar itu benar-benar menjadi target yang harus terlaksana bukankah seharusnya ada jaminan bagi siswa untuk meneruskan sekolah tanpa harus bersusah payah mendapatkan sekolahan lanjutan? Ada yang sangat lucu ketika lulus SD untuk diterima di SMP harus ikut tes. Hasil tes tidak otomatis menjadi ukuran tetapi harus menggunakan rumus: [(3 x UAN) + (2 x nilai Tes)] / 5
Serunya lagi nilai UAN yang menjadi momok itu sudah disulap sedemikian rupa. Pada waktu UAN guru membantu memberikan jawaban, mengganti jawaban setetlah dikumpulkan dan praktek curang lainnya. Bahkan ada kepala daerah yang mengintimidasi semua kepala sekolah untuk meluluskan sebanyak-banyaknya. Akhirnya semua kepala sekolah bekerja sama membuat praktek curang yang menjadi rahasia umum. Tentunya mereka takut jabatan kepala sekolah mereka dicabut.
Saya mempunyai usulan sebaiknya ada kesinambungan pendidikan sejak SD sampai SMU. Misalnya SD A, B, C siswanya nanti akan meneruskan di SMP X, Y dan kemudian SMA Z. Pengelompokan bisa berdasarkan lokasi atau rayon. Bila sistem ini diterapkan maka tidak akan ada sekolah favorit karena pada dasarnya kurikulum pendidikan sama dan kualitas guru juga rata-rata sama.
Bila hal itu dianggap menghambat hak memilih sekolah maka alternatif lain yaitu menerapkan pendafaran seperti penerimaan mahasiswa baru. Pendaftaran di mana saja dengan 3 pilihan sekolah. Dengan sistem perangkingan dan kombinasi daya tampung dan azas pemerataan maka semua siswa akan mendapatkan sekolah tanpa harus bingung ke sana-kemari.
Semua itu kembali kepada birokrat pendidikan yang masih sibuk berkutat pada proyek (Anggaran bidang pendidikan yang sangat besar akhirnya banyak proyek yang ditangani sektor pendidikan, akibatnya para birokrat pendidikan lebih mementingkan proyek. Bahkan ada anggaran yang langsung dialokasikan ke sekolahan dan para guru pun ikut-ikutan mejadi pemborong untuk mendapatkan untung).
Di jalanan kotaku banyak terlihat wajah panik, para orang tua yang mencarikan sekolah anak mereka. Ada ketidakpastian yang membuat kepanikan itu yaitu mendapatkan jatah kursi di sekolah lanjutan. Dunia pendidikan semakin paradoks dan absurd.

wah wah wah.. setuju setuj setuj.. (upin ipin mode on ^ ^""")----
(copy on elfarid.multiply.com..thak you very much!!)

Tidak ada komentar: